Sebut saja aku apa, agama X, agama Y atau agama Z.
Tapi kalau jati diriku dan yang kujalankan adalah Islam,
orang mau mengatakan apa?? Ahmadiyah tetaplah Islam.
Tapi kalau jati diriku dan yang kujalankan adalah Islam,
orang mau mengatakan apa?? Ahmadiyah tetaplah Islam.
Wacana sekarang yang mengemuka, yang dianggap sebagai solusi pencegahan konflik horizontal adalah, jadilah Ahmadiyah sebagai agama baru, maka kekerasan tak akan terjadi lagi. Adanya suatu fakta agama menjamin kebebasan beragama itu adalah benar, tetapi negara tidak mentolerir dalam hal penodaan agama, tak bebas menyimpang, apalagi merusak suatu agama. (Republika 8 JANUARI 2008)
Maka jika saja ahmadiyah membuat koridor baru dengan menbentuk suatu agama terpisah yang tidak mengatasnamakan agama Islam maka kebebasan beragama bagi mereka dapat berlaku. Demikian kira-kira pembacaan saya terhadap alur berpikir orang-orang dalam menyikapi Ahmadiyah. Apakah dengan itu masalah selesai?? Entah ..
Kalau saya membuat satu pengandaian maka saya andaikan dengan ungkapan “Berebut Rumah”, yaitu "Rumah Islam”. Pada dasarnya kita juga sama-sama "menumpang” di rumah itu, yang sebenarnya yang berhak menerima tidaknya seseorang dalam "rumah Itu" adalah sang "Pemilik dan Sang Pembuat Rumah" itu sendiri. Tetapi kenyataannya sekarang adalah semua mengaku seakan merekalah sang pemilik rumah itu sendiri, yang dengan lantang mengatakan kamu bukan penghuni rumah ini, jangan kau nodai rumah ini (walaupun mereka sendiri tak luput dari noda), kamu cari saja rumah sendiri, dan jangan bawa-bawa nama rumah seperti ini.. yaa maaf kalau pengandaian saya ini salah tetapi demikianlah kira-kira.
Saya hanya ingin meminda dari hal yang harus dipinda. Apa yang harus dipinda?? Pemikiran yang seperti saya andaikan tadi diatas. Baiklah akan saya sampaikan sebuah ayat suci Alquran yang berbunyi:
”Sesunnguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak sedikitpun tangung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanya (terserah) kepada Allah, Kemudian Allah akan membertitahukan kepada mereka apa yang mereka perbuat”
(Q.S. Al- An’am: 159)
Menurut saya demikian, bahwa anggap saja Ahmadiyah memang sesat tetapi inilah jawaban Alquran dalam menyikapi kesesatan suatu golongan. Menurut saya-maaf kalau saya salah- dengan tegas Allah sudah mengatakan bahwa kita tidak sedikitpun bertanggung jawab terhadap aliran-aliran sesat, siapapun dan apapun golongannya, hanya kepada Allahlah urusan mereka. Tetapi kalaupun mau ditafsirkan lagi bahwa kitapun tidak serta merta hanya berpangku tangan maka keadaaannya pun adalah demikian, bahwa kita hanya sebatas melakukan langkah preventif dan langkah penyadaran dengan tetap memegang prinsip bahwa tetap-lah itu adalah keyakinan mereka, penafsiran mereka, yang bagaimanapun tidak bisa memaksakan keyakinan yang ada di dalam hati. Karena Alquran dan Nabi mencontohkan seperti demikian. Misalnya fatwa, dari sudut pandang objektif itu syah-syah saja, yang dianggap sebagai langkah pembentengan umat dari pengaruh golongan yang difatwa jangan sampai umat terpengaruh. Yaa itu syah-syah saja, toh fatwa itu tak lain cuma pendapat sementara orang yang dianggap lebih mengerti dan lebih mumpuni dalam ajaran Islam dan fatwapun tidak pula bisa dijadikan sebagai tiket menuju surga. Dalam batas ini kita tidak melangkahi wewenang Allah, tetapi jika sudah sampai kepada langkah kekerasan, intimidasi, mengeluarkan orang dan usaha membubarkan itu adalah langkah yang kebablasan, niat baik yang sudah tercampur dengan kebencian dan telah berusaha mengambil wewenang Allah. Setidaknya jika dikaitkan dengan ayat diatas.
Itu dari satu sisi, kemudian dari sisi lain alasan sebagian orang adalah bubarkan ahmadiyah atau bentuk agama baru, karena ahmadiyah lah yang menyebabkan umat Islam jadi brutal. Suatu langkah yang kesannya Ahmadiyahlah yang menjadi sebab utama, yang memulai. Ahmadiyah sebenarnya adalah objek tetapi sekarang dijadikan subjek, yang karenanyalah yang harus ditindak. Padahal siapa yang membuat kekerasan, mereka. Yang ditindak siapa? Ahmadiyah, yang menjadi objek kekerasan.
Kalau saya mengandaikan lagi adalah seperti masyarakat yang menjarah, mencuri atau merampas. Bisa saja berdalih ini gara-gara orang kaya yang bikin iri orang-orang maka jarahlah!! Langkah kita tentu bukan orang kaya itu yang ditindak, tetaplah yang menjarah yang ditindak, bukan orang kaya itu yang disuruh jangan kaya tetapi pencurilah yang harus disadarkan.. Kalau pencuri itu ada jiwa lkhlas, bahwa uang bukan segala-galanya maka dia tidak akan tertarik dengan mencuri. Biarlah orang kaya yang seperti itu, kalaupun ada azab maka dia sendiri yang akan merasakan tidak usahlah kita dengan niat memberi pelajaran tetapi tangan kita juga berlumuran noda.. Wassalam
0 komentar :
Posting Komentar